Podcast

Culture Shock di Korea dan Indonesia

BLUF (Bottom Line Up Front)
Budaya Korea itu lebih susah untuk Indonesia, selain cepat, ada berbagai budaya lainnya yang bikin culture shock

Hi, how are you? Welcome to Merantau Podcast. You know me, host William Alexander. Hari ini kita akan bahas topik tentang culture shock. Apa itu dan gimana caranya untuk mengatasi hal-hal seperti itu. Maksudnya hal-hal yang berbau culture shock gitu ya.

So, previously I told you, gua harus pergi ke Korea untuk studi dan sekarang gua di Korea. Jadi, pastinya gua merasakan culture shock. Oke, let's start with the simple definitions. Kita harus tahu dulu apa sih sebenarnya culture shock dan apa yang kita rasain. Kira-kira beneran parah enggak sih culture shock itu dan bisa disembuhin enggak sih? Mungkin culture shock terlihat sepele, tapi ada seluk-beluk dan inside di baliknya. Percaya enggak?

So, imagine this. Misalnya kalian tiba-tiba, out of randomness, dikasih tiket sama orang, terus kalian disuruh pergi ke Korea contohnya. Kemudian, gratis, kalian gak pernah nyari tahu Korea itu apa. Mungkin gak tahu K-pop, gak tahu New Jeans. Kalian diberi tiket pesawat dan terbang ke sana untuk studi satu tahun. For the first 10 days, 10 hari aja di situ, kalian mungkin melihat banyak banget culture Korea yang begitu cepat. Misalnya ketika naik bus, ternyata harus turun liat belakang, gak boleh lewat depan. Mungkin juga ada culture lain, misalnya kenapa orang jalan cepat banget? Kayak 30 menit dari poin A ke poin B, jauh banget. Padahal bisa sekitar satu kilo atau dua kilo lah.

Bayangkan hal-hal seperti itu terjadi dalam lingkup kalian. Kalian mungkin juga syok karena makanan yang kalian makan berbeda banget sama makanan yang kalian makan di Indonesia. Cultur-nya beda, budayanya beda, makanannya juga beda. Rasanya juga asem. This is a true story. Jadi, pertama kali gua datang juga kayak gitu.

Mungkin setelah tiga bulan, kalian mulai homesick, pengen pulang ke Indonesia. Duh, ngapain ya sebenarnya di sini tuh? Kayak, aduh beda banget rasanya. Di sini, Korea adalah negara dengan empat musim, jadi pasti kalian harus menghadapi winter, summer, dan berbagai hal. Kalian mulai depresi. You may be lonely, you may be hurt, and your mental health could be affected.

Jadi, culture shock itu bukan menjadi sebuah hal yang lu rasakan, tapi menjadi sebuah hal yang bikin lu jatuh. Coba bayangkan culture of Indonesia dan culture of other countries. Pastinya beda banget. Kita gak bisa menyamakan budaya Indonesia dengan budaya lain. Dan gak semua budaya Indonesia dan gak semua budaya orang luar itu bagus untuk kita, mungkin untuk sebagian orang saja.

Jadi, kita akan belajar tentang culture shock. Tapi pertama, gua akan jelasin sedikit tentang culture di Korea, jadi kalian bisa tahu gambarannya. William ngapain sih di Korea? Apa sih yang terjadi di Korea? Little recap, gua udah studi di sini sekitar enam bulan. Untuk lima bulan terakhir, gua berusaha hidup sebisa mungkin di sini.

Dan apa yang gua temuin? Pertama, Korea adalah negara yang sangat cepat. Mungkin negara lain juga gitu, gua belum pernah ngerasain. Tapi ketika gua merasakan Korea dibandingkan Indonesia, yang lebih santai, ini terasa sangat berbeda. Bahkan, gua pernah naik taksi, hampir tiga kilo, cuman 15 menit. Kak, gak make sense. Apalagi di sini tuh orangnya jalannya cepat banget. Jadi, even when I'm speaking right now, gua mencoba sebisa mungkin untuk pelan, tapi kayak terpacuh gitu oleh waktu.

Sekarang, waktu itu sangat kencang banget di gua. Gua udah mulai lebih disiplin karena di sini orangnya disiplin banget. Jam 9.30 harus masuk. Gak ada tuh lebih-lebih, gak ada kurang-kurang. Meskipun pernah telat beberapa kali, ya udahlah.

Intinya adalah fast moving country, jadi cepat banget. Entah dari jalannya atau kalian pesan makanan di restoran, paling datangnya cuma beberapa detik. Bayangkan, 10 piring makanan datang langsung dalam waktu kurang lebih 5 sampai 6 detik. Karena Korea itu konsepnya kayak makan besar. Ada banyak side dish yang datang dengan cepat. Mereka tuh enggak tolerate setiap single time. Time is their value.

Jadi, bahkan gua juga heran. Kayak makan berkeluarga nih, empat orang berkeluarga, gak sampai 30 menit selesai makannya. Barbecue yang harus dimasak gitu loh. Bayangin. Dan itu culture pasti ada originnya. Di Korea, kenapa cepat? Karena budaya militernya.

Jadi, supaya semua itu berjalan secara disiplin dan bagus. Bahkan, Korea punya populasi sekitar 55,6 juta. Dan ada hal-hal yang harus direspek. Misalnya, kalau kalian minum barang orang tua atau barang siapa pun, harus facing from the parents. Karena itu adalah hal yang menunjukkan kesopanan. Sama juga dengan bahasa. Ada bahasa-bahasa tertentu yang digunakan untuk berinteraksi dengan orang lebih tua, seperti di Jawa yang ada bahasa Jawa alus dan kasar.

Etiket dan kesopanan ini harus ditunjukkan, bukan hanya sekadar diucapkan. Misalnya, kalau di Indonesia kalian pergi keluar rumah, ada etiket yang mengatakan bahwa kalian harus menyapa orang tua, pamit. Misalnya, kalau kalian di kereta, gua punya cerita lucu. Jadi, gua pertama kali naik Subway atau KRL, yang adalah hal asing buat gua. Karena gua tinggal di Jawa Timur di mana enggak ada KRL.

Ternyata, kita harus pertama-tama ngetap card kemudian masuk, turun di peron yang benar, dan seterusnya. Tiba-tiba gua disuruh pindah ke gerbong selanjutnya. Gua bingung kenapa harus pindah. Ternyata, gerbong awal dan gerbong akhir itu ditujukan untuk penumpang wanita. Ada tulisan di kereta dan gua gak nyadar.

Tapi ya, itu ada orang yang memang enggak diajarkan cara bertata krama. To be honest, gua salah satu orang yang juga enggak tahu. Tapi, gua berusaha untuk memahami beberapa hal yang baik dan buruk. Di Korea, gak pernah ada orang ribut di public space. Volumenya kecil banget. Bahkan, ada ruangan namanya 'Cuyung se' di mana gak boleh ngomong, bahkan mengetik keyboard harus dikurangin volumenya.

Ini refleksi dari seluruh sistem Korea. Mereka sangat functional. Setiap tempat ada ruangan untuk istirahat, ruangan untuk belajar, dan sistem engineering juga memperhatikan sound barrier. Di Indonesia, jarang mikirin hal seperti ini. Kadang orang mikirin cuma soal anak tetangga yang ribut. Tapi di sini, sampai bawa polisi kalau ada yang ribut.

Di Korea, orang sangat fokus pada produktivitas dan detail. Mereka belajar secara mendalam tentang sistem dan mekanisme. Di Indonesia, mungkin kita lebih santai. Di Korea, fokus pada downstream dan manusia. Mereka sangat menghargai upstream dan downstream. Dan itu yang gua appreciate.

Namun, ada juga yang kurang gua suka. Korea sangat fokus pada individu. Sementara di Indonesia, budaya gotong royong sangat kuat. Di Korea, individualisme lebih dominan.

Kita gak bisa menentukan budaya mana yang lebih baik. Kita hanya bisa menilai berdasarkan pengalaman kita sendiri. Jadi, kalian yang masuk ke gerbong kereta wanita tanpa tahu, there is a way untuk memahami culture. Nama framework-nya adalah OODA.

Singkatannya adalah observe, orient, decide, dan act.

OODA

Observe: Lihat sekitar, apa yang orang lakukan.

Orient: Coba pakai pendekatan yang sesuai dengan budaya.

Decide: Putuskan apa yang harus dilakukan.

Act: Lakukan sesuai dengan apa yang telah diputuskan. Kumpulkan feedback untuk memperbaiki pemahaman budaya.

Dan itu enggak berlangsung dalam waktu satu hari. It takes months untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan culture baru.

Wow, it’s a long podcast. But I want to tell you this: ini segmen baru untuk episode selanjutnya. Kita punya namanya ‘Ceritanya Merantau’. Kalian bisa upload cerita kalian di link Tree di sini. Misalnya, tentang money, happiness, atau pengalaman kalian. Ceritakan pengalaman kalian dan mungkin akan ditampilkan di podcast.

Jadi, itu semua untuk hari ini. Follow Merantau Podcast di Instagram dan Spotify, dan jangan lupa review podcast ini. See you next time.

related writings.